Episode Khusus Bersama Mr. Forks

  
Hari ini gw kuliah. Ketika mata kuliah Sejarah Intelektual, kami dikejutkan oleh seorang bule yang nyelonong masuk ke dalam kelas. Disebut bule karena rambutnya yang pirang (bukan karena di-cat,tetapi memang dari sono-nya he).

Bule tersebut memperkenalkan diri bernama Kevin Forks dan kami diperkenankan memanggilnya dengan panggilan-Mas Kevin, Pak Kevin atau Bang Kevin. Namun jangan sekali-sekali memanggilnya Mister Kevin katanya karena pengertiannya akan menjadi aneh (pengertiannya menjadi *kuda :D).
Hal kecil yang baru ku ketahui bahwa jika ingin memanggil seseorang, bule tentunya...dengan sebutan mister maka dengan marganya, seperti: Mister Forks bukan mister Kevin, Bang Kevin ini menerangkan.

Saya bingung mau manggil dia apa :  
Pak- dipanggil bapak namun usianya begitu muda. Bang- dipanggil abang tetapi seorang bule, … ah, lebih enak memanggilnya “Mas”, Mas Kevin.
Kan lebih akrab karena memang postur tubuh kami tidak jauh beda, gw kn mirip-mirip dikit ma bule, hehe :D.

Pada pertemuan kali ini dosen kami memperkenalkan Mas Kevin, dia diberi kesempatan mengajar, bertukar pikiran dan berdiskusi. Mas Kevin mempresentasikan masalah “Oral History” atau dalam kajian ilmu sejarah sering disebut dengan “Sejarah Lisan”. Teringat beberapa tahun silam ketika gw mempelajari sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan – sejarah lisan di semester awal.

Begitu menarik dan merupakan hal yang berbeda ketika belajar dan diberi materi oleh seorang bule. Mas Kevin berasal dari Amerika, berpostur tinggi dan agak kurus seperti layaknya postur orang eropa. Namun dia fasih berbahasa Indonesia, mungkin karena telah beberapa lama tinggal di Indonesia. Ia mengaku sudah satu setengah tahun berada di Indonesia selama studinya.
Walaupun kadang terhenti beberapa saat dalam presentasinya, karena tidak menemukan kata-kata yang dianggapnya tepat, sehingga menyambungnya dalam bahasa Inggris.

Mas Kevin merupakan kandidat Doktor dan memperoleh besiswa dari FulBright, begitu mengesankan melihat usianya yang masih muda. Fulbright merupakan penyelenggara beasiswa dan pertukaran Mahasiswa dari Amerika ke Indonesia dan sebaliknya yang bekerjasama dengan Depdiknas. Bukan hanya Indonesia tetapi beberapa Negara di Asia seperti Malaysia, India, Mesir dan Kamboja yang dibiayai dan difasilitasi oleh Amerika. Sehingga Mahasiswa dari Negara-negara tersebut dapat kuliah dan mendapat pengalaman belajar di Amerika atau sebaliknya.

Tersedia program-program beasiswa dari jenjang Sarjana hingga Magister dan Doktor bahkan ada program khusus satu atau dua semester kuliah di Amerika bagi mahasiswa yang masih kuliah pada jenjang sarjana untuk sekedar belajar, menambah wawasan dan pengalaman berkunjung ke Amerika tentunya.
Semua akomodasi pendidikan dan biaya hidup selama studi dibiayai dan ditanggung Fulbright. Wah…asik tuh, bisa jalan-jalan ke Amerika.

Kali aja bisa ketemu Barack Obama, hehe-ngawur.


Tapi serius, gw jadi terinspirasi dan termotivasi tepatnya. Banyak hal dan pengalaman yang gw dapat dari pertemuan singkat dengan Mas Kevin ini.

Pertama, gw jadi pengen bisa bahasa Inggris dan menguasai, paling tidak dapat bercakap dan berbahasa inggris dalam percakapan sederhana tidak hanya berkutat pada kosakata : “Yes, No…sure, please dan Arrounding
* (teringat beberapa waktu silam, ada bule, perkiraan gw orang rusia (bahasa inggrisnya cepat dan kurang jelas) yang nanyain jalan menuju stasiun bus terdekat dan gw hanya bisa jawab “arrounding….arrounding”, sambil nunjuk-nunjuk arah yang dimaksud).

Malu kan sama bule yang fokus dengan studinya mau dan bisa berbahasa Indonesia seperti Mas Kevin ini. Dan tentunya akan sangat berguna dan bermanfaat jika bisa berbahasa Inggris.

Ada program beasiswa yang menarik yaitu untuk guru yang telah mengajar selama 5 tahun berkesempatan untuk menambah pengalaman, belajar dan memperdalam ilmu kependidikan di Amerika. Namun seperti program-program beasiswa lainnya yang mensyaratkan TOEFL di atas 450an.

*jadikan Obsesi aja (kali aja ntar ada kesempatan,he…amiin)


Selain itu, gw jadi ngiri ama nih bule. Soalnya dia begitu fasih dan menguasai ilmu sejarah dalam bidangnya yang fokus pada dokumenter sejarah. Dapat menjelaskan begitu lengkap dan jelas sejarah-sejarah lokal di Indonesia, dan dapat menarik pemahaman dari sumber-sumber yang dikumpulkan, seolah ia telah lama menetap dan sudah seperti orang indonesia. Di tengah presentasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan. Ia becerita bagaimana ternyata Mas Kevin ini telah sampai di “Marabahan” guna mengumpulkan sumber-sumber yang diperlukan dan wawancara.

Banyak penemuan-penemuan dan penelitian sejarah yang justru ditemukan oleh orang luar dan bukan oleh orang-orang atau sejarawan kita seperti dalam bidang arkeologi, sosiologi dan budaya dan yang berkaitan dengan sejarah bangsa dan masyrakat.

Bagaimana Belanda yang telah mengeksplor daerah-daerah di seluruh Indonesia hingga ke pedalaman Kalimantan yang ternyata telah terdapat jejak Belanda. Mencari sesuatu yang bermanfaat untuk kepentingan mereka ketika menjajah Indonesia dan bukan rakyat pribumi kita yang telah tinggal berabad-abad di sini.  

Oia…ada hal-hal yang menarik dari Mas Kevin ini,

Mas Kevin berpenampilan sederhana dan mengenakan baju batik yang merupakan budaya asli Indonesia. Berbanding terbalik dengan orang Indonesia yang konsumtif dan lebih memilih produk luar yang lebih kelihatan berkelas dibanding produk dalam negeri yang sebenarnya memiliki nilai estetik dan budaya seperti baju batik dan kain-kain khas daerah.

Ketika Mister Forks ini mengeluarkan Laptop dari bungkusnya yang merupakan tas-recycle atau tas plastik daur ulang yang masih jelas bertuliskan - Mama Lemon. Terlihat kesadaran lingkungan dan dampak global walaupun dari hal yang kecil yaitu dengan memakai produk-produk daur ulang yang lebih ramah lingkungan.

*jadi agak demen ma ni bule dan mengesampingkan latar belakang negaranya.

Dia juga fasih berbahasa Indonesia dan memahami adat istiadat dan kultur masyrakat Indonesia dengan baik dan selalu merendah diakhir setiap penjelasan dan jawaban dari pertanyaan kami.

Ketika ngomong dan berbicara bahasa Indonesia dengan intonasi dan tempo yang mirip-cinta laura, dan yang menarik gaya bicaranya: mengingatkan gw dengan seseorang yang berbicara dengan sebelah tangan yang dilipat agak di ketiak.

Entah kenapa gw jadi inget pembakal Juhu, :D…  
mirip… walaupun tak selalu,